Sabtu, 01 Maret 2008

Kebijakan Satu Paspor

PASPOR adalah salah satu dokumen keimigrasian yang sangat penting agar seorang warga dari suatu negara dapat mengunjungi negara lain, untuk keperluan apa pun. Kondisi ini berlaku universal.

Akan tetapi di Indonesia, fleksibilitas dokumen itu mengalami reduksi. Sebuah paspor tidak otomatis dapat dipergunakan warga negara untuk segala macam kunjungan.

Untuk kunjungan dengan tujuan tertentu, yaitu naik haji, dibutuhkan paspor tertentu, dengan syarat tertentu, dan harga tertentu pula.

Paspor terbitan kantor imigrasi berwarna hijau, tidak berlaku bila seseorang ingin pergi ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Ia harus membuat paspor lain berwarna cokelat yang diterbitkan Departemen Agama.

Celakanya, paspor cokelat itu berlaku hanya sekali pakai. Bila ingin kembali naik haji tahun berikutnya, diperlukan paspor baru. Sedangkan paspor hijau, yang memiliki masa berlaku lima tahun, diharamkan. Memang, ada beberapa pengecualian, namun ketentuannya bersifat kaku, menimbulkan kerumitan dan hambatan bagi para pemegangnya.

Hal itu hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain di berbagai belahan dunia, orang hanya mempergunakan satu jenis paspor untuk bepergian ke mana pun, untuk keperluan apa pun. Jika ingin naik haji, ke Tanah Suci, cukup mengajukan visa yang diperlukan kepada kedutaan atau perwakilan negara Arab Saudi. Selebihnya, paspor dapat terus dipergunakan untuk keperluan lain selama masih berlaku.

Tetapi di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia itu, urusan paspor naik haji dibikin lain, ruwet, dan boros. Sungguh menyedihkan, kondisi itu telah berkembang menjadi fenomena salah kaprah yang diterima sebagai kewajaran dan kelaziman.

Lebih menyedihkan lagi, semua salah kaprah itu memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang No 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji membenarkan dan memerintahkan hal itu.

Oleh karena itu, pemerintah dan DPR seharusnya merevisi undang-undang tersebut. Terutama, mengkaji ulang penggunaan paspor khusus haji.

Kebijakan yang lebih efisien, sederhana, dan bersifat universal perlu diambil agar pelaksanaan ibadah haji dapat dilakukan dengan prosedur keimigrasian yang selaras, berlaku universal, serta jauh lebih tepat dan sederhana.

Sebuah pilihan yang realistis dan propublik bila pemerintah menerapkan kebijakan satu paspor, yakni paspor hijau. Tidak perlu paspor cokelat.

Lagi pula, bukan kewenangan Departemen Agama mengurus paspor. Kembalikan otoritas itu kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.

Kekhawatiran bahwa jemaah dengan paspor hijau akan menyalahgunakan visa untuk tujuan lain, seperti bekerja, berbisnis, atau urusan lain, sehingga menimbulkan kasus hukum, harus dilihat kembali dalam perspektif yang lebih proporsional. Sebab, penyalahgunaan visa atau pelanggaran aturan keimigrasian dapat berlangsung kapan saja dan di mana saja, tidak hanya saat musim haji.

Yang dibutuhkan adalah upaya lebih serius untuk menyelesaikan akar masalah di dalam negeri. Bukan dengan menambah rumit dan tumpang tindih aturan birokrasi yang cenderung korup.



sumber : media Indonesia

BERHASIL DIKEMBANGBIAKKAN Singa Afrika


ANTARA/NYOMAN BUDHIANA
Seekor singa Afrika (Phantera Leo), Nala menjaga anaknya, Olga (kanan) yang baru berumur satu bulan di "Bali Safari and Marine Park", Gianyar, Bali, Sabtu (1/3). Beberapa spesies binatang langka dari sekitar 400 ekor yang ada di kebon binatang itu telah berhasil dikembangbiakkan sebagai upaya penyelamatan dari kepunahan.


sumber : media Indonesia

SERANGAN UMUM SATU MARET


ANTARA/REGINA SAFRIA
LURUSKAN SEJARAH: Puluhan veteran pejuang berkumpul saat upacara di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret Yogyakarta, Sabtu (1/3). Para mantan pejuang tersebut juga melakukan musyawarah besar selama dua hari dalam rangka meluruskan sejarah bahwa pencetus Serangan Oemoem 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX bukan mantan Presiden Soeharto.


sumber : media Indonesia